Angkatan 50-an
Angkatan
50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.
Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan
cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun
1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra. Pada
angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang
bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berkonsep sastra
realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan
diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960;
menyebabkan perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan
berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Memantulkan
kehidupan masyarakat yang masih harus terus berjuang dan berbenah di
awal-awal masa kemerdekaan. Disebut juga Generasi Kisah (nama majalah
sastra). Di masa ini sastra Indonesia sedang mengalami booming cerpen.
Juga marak karya-karya teater dengan tokohnya Motenggo Boesye, Muhammad
Ali Maricar, W.S. Rendra (sekarang Rendra saja).
Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an
1. Nh.
Dini (Nurhayati Dini) adalah beliau merupakan sastrawan wanita
Indonesia yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya
antara lain:
· Pada Sebuah Kapal,
· Namaku Hiroko,
· La Barka,
· Pertemuan Dua Hati, dan
· Hati Yang Damai.
· Dua Dunia (1950)
· Hati jang Damai (1960)
Salah
satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah
kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur. Selain itu masih banyak lagi
tokoh-tokohg sastrawan pada masa itu beserta karyanya masing-masing.
2. Ajip Rosidi
ü Cari Muatan
ü Ditengah Keluarga (1956)
ü Pertemuan Kembali (1960)
ü Sebuah Rumah Buat Hari Tua
ü Tahun-tahun Kematian (1955)
3. Ali Akbar Navis
ü Bianglala: kumpulan tjerita pendek (1963)
ü Hudjan Panas (1963)
ü Robohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950)
4. Bokor Hutasuhut
ü Datang Malam (1963)
5. Enday Rasidin
ü Surat Cinta
6. Nugroho Notosusanto
ü Hujan Kepagian (1958)
ü Rasa Sajangé (1961)
ü Tiga Kota (1959)
7. Ramadhan K.H
ü Api dan Si Rangka
ü Priangan si Djelita (1956)
8. Sitor Situmorang
ü Dalam Sadjak (1950)
ü Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
ü Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
ü Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
ü Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
9. Subagio Sastrowardojo
ü Simphoni (1957)
10. Titis Basino
ü Pelabuhan Hati (1978)
Kesesastraan Angkatan Balai Pustaka(1920-1940)
Angkatan
Balai Pustaka di Indonesia telah ada sejak tahun 1920 - 1950, pada
awalnya pemerintah belanda mendirikan sebuah lembaga bacaan rakyat yang
diberi nama Volkslectur pada tahun 1908. Pada tahun 1917 Volkslekctur
diubah menjadi balai pustaka. Balai
Pustaka didirikan dengan alasan salah satunya untuk mencegah pengaruh
buruk dari bacaan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang
banyak menyoroti kehidupan pernyaian dan dianggap memiliki misi politis.
Ciri-ciri umum angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
1. Tema tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai dan kawin paksa
2. Bahan ceritanya berasal dari Minangkabau
3. Bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu
4. Menggunakanaliran romantik sentimental
Pada
masa itu, tidak semua karya diterbatkan oleh Balai pustaka dengan
berbagai alasan. Karya sastra pada masa itu harus memiliki syarat-syara
tertentu agar dapat diterbitkan oleh pihak Balai pustaka diantaranya
yaitu karya satra tidak boleh memiliki unsur yang menentang pemerintah
pada masa itu dan setiap karya tidak boleh mengandung unsur politik yang
merugikan bagi pemerintah. Salah satu contoh karya yang ditolak pada
masa itu yang dianggap bertentangan dengan dengan pihak penerbit yaitu
karya sastra Belenggu. Selain karya satra Belenggu yang ditolak oleh
pihak balai pustaka masih banyak lagi karya-karya yang muncul pada masa
itu dan diterima oleh pihak penerbit. Merari siregar dalam karyanya
yaitu asab dan sengsara pada tahun 1920, marah rusli dengan karyanya
siti nurbaya ada tahun 1928, Abdul Muis dengan karyanya salah asuhan
pada tahun 1928 dan Hamka dengan karyanya tenggelamnya kapal Van Der
Wijch pada tahun 1957. Asab dan sengsara karya Merari siregar ini
ditunjuk sebagai awal kebangkitan nasional. Karya ini menceritakan
tentang adat perkawinan berdasarkan kesetaraan derajat dan status
sosial. Namun pada karya ini telah muncul sikap menentang dan sikap
nasionalisme dari tokoh tersebut. Berbeda dengan karya Marah rusli yang
karyanya Siti nurbaya pada tahun 1922. Dalam karya siti nurbaya
menceritakan tentang adat perjodohan dan kawin paksa. Karya ini sangat
berbeda dengan karya dari Merari Siregar asab dan sengsara. Dalam Siti
nurbaya tidak mencerminkan sisi nasionalisme. Tokoh dari siti hanya
berterima dengan keputusan orang tuanya untuk mengikuti kemauan datuk
maringgih karna tidak mampu membayar utang keadanya. Dalam cerita
tersebut tokoh datuk maringgih menikahi siti secara paksa. secara tidak
langsung tergambarkan adanya kekuasaan yang menindas kaum lemah dan
masih kuatnya adat yang berlaku pada saat itu. Tokoh siti tidak mampu
menolak kemauan orang tuanya untuk memnjodohkannya dengan datuk
maringgih. Selain itu Tokoh syamsul Bahri pada karya tersebut juga tidak
mampu memberontak dan mempertahankan kekasihnya yang sangat dicintainya
untuk mengatakan tidak meskipun dia tidak berterima akan kenyataan
bahwa siti nurbaya akan menikah dengan datuk maringgih. Bahkan tokoh
tersebut lebih memilih untuk bergabung dengan pemerintah belanda untuk
mem,brantas saudara setana airnya sendiri. Tekoh tersebut dilukiskan
seperti itu agar karya sity nurbaya ini dapat diterbitkan pleh pihak
Balai pustaka yang tidak lain pemerintah pada masa itu. Berbeda dengan
karya merari siregar yang telah memperlihatkan sikap nasionalisme dan
memertahankan sesuatu yang menurutnya bertentangan. Oleh sebab itu karya
dari karya Asab dan sengsara dikatakan sebagai awal kebangkitan pada
masa itu. Selain itu karya sastra salah asuhan oleh abdul muis
menceritakan tentang kisah seorang laki-laki yang memiliki pola pikir
yang yang terpengaruh oleh pola pikir orang eropa yang yang selalu
merendahkan adat tradisi. Yang terakhir yaitu karya dari Hamka
tenggelamnya kapal Van Der wijch yang masih menyangkut adat istiadat dan tradisi dan mengarah pada kehidupan nyata yang terjadi dalam kehidupannya.
SUMBER
K.S, Yudiono.2007. Pengantar Ilmu Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo
http://sastraindonesia.ohlog.com/macam-macam-karya-sastra.oh32589.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar